MINANGKABAU
Sejarah
Nama Minangkabau berasal dari dua kata,
minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang
dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu
kerajaan asing ( dapat ditafsirkan sebagai Majapahit ) yang datang dari laut
akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat
mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat
menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang
lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka kerbau itu
langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik - cabik perut kerbau
besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai
nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" ( artinya
menang kerbau ).
Kisah tambo ini juga dijumpai dalam
Hikayat Raja - Raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan
negeri yang sebelumnya bernama Periaman ( Pariaman ) menggunakan nama tersebut.
Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah
nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten
Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dari tambo ( sejarah / kisah legenda
Minangkabau ) yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek
moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walaupun tambo
tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding
fakta serta cenderung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik
masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat
dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana
masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah
seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari
masyarakat Deutro Melayu ( Melayu Muda ) yang melakukan migrasi dari daratan
China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500 - 2000 tahun yang lalu.
Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera,
menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan
menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian
membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama Luhak, yang selanjutnya
disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah,
Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia - Belanda,
kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut
afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau
disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang
lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep
rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk
ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungi sebagai tempat mencari kehidupan,
kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo
terbagi atas Rantau di Hilia ( kawasan pesisir timur ) dan Rantu di Mudiak (
kawasan pesisir barat ).
Pada awalnya penyebutan orang Minang
belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke 19, penyebutan Minang
dan Melayu mulai dibedakan, melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan
berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan
ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
Sumber : Wikipedia ( orang Minang )
Budaya Minangkabau berasal dari Luhak
Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara
dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi
Sumatera Barat, bagian barat Riau ( Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu ),
pesisir barat Sumatera Utara ( Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus ), bagian
barat Jambi ( Kerinci, Bungo ), bagian utara Bengkulu ( Mukomuko ), bagian
barat daya Aceh ( Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya an
Kabupaten Aceh Tenggara ) hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya
bercorakkan budaya animisme dan Hindu - Budha. Kemudian sejak kedatangan para
reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke 18, adat dan budaya
Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang
dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat
untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada
budaya animisme dan Hindu - Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya
menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta -
pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi
setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan
adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak
pandai ( cerdik pandai ). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya
Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Syarak mangato adat memakai. ( Adat bersendikan kepada syariat,
syariat bersendikan kepada Al - Quran ). Sejak reformasi budaya dipertengahan
abad ke 19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau
berlandaskan pada nilai - nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung /
jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada ditiap - tiap lingkungan
keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di
surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik
berupa ilmu bela diri pencak silat.
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau
pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara,Datuk Ketumanggungan dan
Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto
Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi
Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan
kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga
pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka
adalah alim ulama, cerdik pandai dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah
Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam
posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan
egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara
mutlak.
Salah satu aspek utama dalam
mendefinisikan identitas masyartakat Minang adalah Matrilineal. Adat dan budaya
mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan
kekerabatan. Garis keturunan ditujuk kepada Ibu yang dikenal dengan Samande (
Se - Ibu ), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (
ipar ) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki
kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan
peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan - keputusan yang
dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak ( paman / saudara
dari pihak ibu ), dan penghulu ( kepala suku ). Pengaruh yang besar tersebut
menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (
Pilar utama rumah ). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan
terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut
masih tetap memegang otoritas / memiliki
legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Budaya
Masyarakat
Minangkabau memiliki filosofi bahwa
"pemimpin itu hanyalah ditinggikan seranting dan didahulukan
selangkah" artinya seorang pemimpin haruslah dekat dengan masyarakat yang
ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap untuk dikritik jika ia berbuat
salah. Dalam konsep seperti ini, Minangkabau tidak mengenal jenis pemimpin yang
bersifat diktator dan totaliter. Selain itu konsep budaya Minangkabau yang
terdiri dari republik - republik mini, dimana nagari - nagari sebagai sebuah
wilayah otonom, memiliki kepala - kepala kaum yang merdeka. Mereka memiliki hak
dan kewajiban yang sama, serta dipandang sejajar di tengah - tengah masyarakat.
Budaya Minangkabau mendorong masyarakat
untuk mencintai pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk
mencari ilmu. Filosofi Minangkabau mengatakan bahwa "alam terkembang
menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat
Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam, pemuda -
pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga
ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum
keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda
kampung.
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua
jenis harta pusaka, yakni pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan turun -
temurun dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan
harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan
menurut hukum Islam
Harta pusaka tinggi adalah harta milik
seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak
perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam dan hutan. Anggota kaum
memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak
pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain hak membuka tanah, memungut hasil,
mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam dan hak menggembala.
Harta pusaka tinggi tidak boleh
diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi
hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan
di gadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku
lain.
Tergadainya harta pusaka tinggi karena 4
hal :
1. Gadih gadang indak balaki ( perawan tua
yang belum bersuami ), jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara
umurnya sudah telat.
2. Mayik tabujua di ateh rumah ( mayat
terbujur di atas rumah ), jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang
harus segera dikuburkan.
3. Rumah gadang katirisan ( rumah besar
bocor ), jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak
dan lapuk sehingga tidak layak huni.
4. Mambangkik batang tarandam ( membongkar
kayu yang terendam ), jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (
datuk ) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang
lebih tinggi.
Kearsitekturan Minangkabau merupakan bagian seni arsitektur khas Nusantara, yang wilayahnya merupakan kawasan rawan gempa. Sehingga banyak rumah - rumah tradisional yang berbentuk panggung, menggunakan kayu dan pasak, serta tiang penyanggah yang diletakkan di atas batu tertanam. Namun ada beberapa kekhasan arsitektur Minangkabau yang tak dapat dijumpai di wilayah lain, seperti atap bergonjong. Model ini digunakan sebagai bentuk atap rumah, balai pertemuan, dan kini juga digunakan sebagai bentuk atap kantor - kantor di seluruh Sumatera Barat. Di luar Sumatera Barat, atap bergonjong juga terdapat pada kantor perwakilan Pemda Sumatera Barat di Jakarta, serta pada salah satu bangunan di halaman istana Seri Menanti, Negeri Sembilan. Bentuk gonjong diyakini berasal dari bentuk tanduk kerbau, yang sekaligus merupakan ciri khas etnik Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau sejak lama
mengembangkan seni budaya berupa ukiran,
pakaian dan perhiasan. Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak nagari di
Minangkabau. Namun saat ini seni ukir hanya berkembang di nagari - nagari
tertentu, seperti Pandai Sikek. Kain merupakan media ukiran yang sering
digunakan oleh masyarakat Minang. Selain itu ukiran juga banyak digunakan
sebagai hiasan Rumah Gadang. Ukiran Rumah Gadang biasanya berbentuk garis
melingkar atau persegi, dengan motif seperti tumbuhan merambat, akar yang
berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar
berjajajar, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau
ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Disamping itu
motif lain yang dijumpai dalam ukiran Rumah Gadang adalah motif geometri
bersegi tiga, empat dan genjang. Jenis - jenis ukiran Rumah Gadang antara lain kaluak
paku, pucuak tabuang, saluak aka, jalo, jarek, itiak pulang patang, saik
galamai dan sikambang manis.
Warna dominan dari kebudayaan
Minangkabau adalah sirah ( merah tua kecoklatan), kuniang ( kuning kunyit ) dan
hitam. Dalam bangunan juga terlihat penggunaan warna putih. Ketiga warna utama
itu memiliki arti kaum ( merah ), adat ( hitam ) dan cerdik ( kuning ).
Tari
- tarian merupakan salah satu corak budaya Minangkabau yang sering
digunakan dalam pesta adat ataupun perayaan pernikahan. Tarian dimainkan oleh
kaum perempuan dan laki - laki. Ciri khas tari Minangkabau adalah cepat, keras,
menghentak dan dinamis. Terdapat pula gerakan silat didalamnya, yang disebut
randai. Salah satu tarian yang cukup dikenal adalah tari piring, tari payung,
tari pasambahan dan tari indang.
Pencak silat adalah seni bela diri yang menjadi salah satu
warisan turun temurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat Minangkabau.
Budaya Minangkabau juga melahirkan banyak jenis alat musik dan lagu. Diantara alat musik khas Minangkabau adalah
saluang, talempong, rabab serta bansi. Keempat alat musik tersebut biasanya
dimainkan dala pesta adat dan perkawinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar