Minggu, 12 Januari 2014

MINANGKABAU


Sejarah
        Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing ( dapat ditafsirkan sebagai Majapahit ) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik - cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" ( artinya menang kerbau ).


        Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja - Raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman ( Pariaman ) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.

        Dari tambo ( sejarah / kisah legenda Minangkabau ) yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walaupun tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cenderung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut menjadi raja mereka.

        Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu ( Melayu Muda ) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500 - 2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama Luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia - Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.

        Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia ( kawasan pesisir timur ) dan Rantu di Mudiak ( kawasan pesisir barat ).

        Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke 19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan, melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.
Sumber : Wikipedia ( orang Minang )

        Budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau ( Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu ), pesisir barat Sumatera Utara ( Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus ), bagian barat Jambi ( Kerinci, Bungo ), bagian utara Bengkulu ( Mukomuko ), bagian barat daya Aceh ( Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya an Kabupaten Aceh Tenggara ) hingga Negeri Sembilan di Malaysia.

 
        Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu - Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke 18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu - Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta - pesta adat masyarakat Minang.

        Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai ( cerdik pandai ). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat memakai. ( Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al - Quran ). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke 19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai - nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung / jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada ditiap - tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

 Adat Istiadat
        Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara,Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.

        Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mutlak.

        Salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyartakat Minang adalah Matrilineal. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan ditujuk kepada Ibu yang dikenal dengan Samande ( Se - Ibu ), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando ( ipar ) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.

        Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan - keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak ( paman / saudara dari pihak ibu ), dan penghulu ( kepala suku ). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang ( Pilar utama rumah ). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas /  memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.

Budaya
        Masyarakat Minangkabau memiliki filosofi bahwa "pemimpin itu hanyalah ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah" artinya seorang pemimpin haruslah dekat dengan masyarakat yang ia pimpin, dan seorang pemimpin harus siap untuk dikritik jika ia berbuat salah. Dalam konsep seperti ini, Minangkabau tidak mengenal jenis pemimpin yang bersifat diktator dan totaliter. Selain itu konsep budaya Minangkabau yang terdiri dari republik - republik mini, dimana nagari - nagari sebagai sebuah wilayah otonom, memiliki kepala - kepala kaum yang merdeka. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, serta dipandang sejajar di tengah - tengah masyarakat.

        Budaya Minangkabau mendorong masyarakat untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau mengatakan bahwa "alam terkembang menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam, pemuda - pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda kampung.

        Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan turun - temurun dari leluhur yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam

        Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam dan hak menggembala.

        Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku lain.
        Tergadainya harta pusaka tinggi karena 4 hal :
1.       Gadih gadang indak balaki ( perawan tua yang belum bersuami ), jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
2.       Mayik tabujua di ateh rumah ( mayat terbujur di atas rumah ), jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
3.       Rumah gadang katirisan ( rumah besar bocor ), jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
4.       Mambangkik batang tarandam ( membongkar kayu yang terendam ), jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu ( datuk ) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.


          Kearsitekturan Minangkabau merupakan bagian seni arsitektur khas Nusantara, yang wilayahnya merupakan kawasan rawan gempa. Sehingga banyak rumah - rumah tradisional yang berbentuk panggung, menggunakan kayu dan pasak, serta tiang penyanggah yang diletakkan di atas batu tertanam. Namun ada beberapa kekhasan arsitektur Minangkabau yang tak dapat dijumpai di wilayah lain, seperti atap bergonjong. Model ini digunakan sebagai bentuk atap rumah, balai pertemuan, dan kini juga digunakan sebagai bentuk atap kantor - kantor di seluruh Sumatera Barat. Di luar Sumatera Barat, atap bergonjong juga terdapat pada kantor perwakilan Pemda Sumatera Barat di Jakarta, serta pada salah satu bangunan di halaman istana Seri Menanti, Negeri Sembilan. Bentuk gonjong diyakini berasal dari bentuk tanduk kerbau, yang sekaligus merupakan ciri khas etnik Minangkabau.





          Masyarakat Minangkabau sejak lama mengembangkan seni budaya berupa ukiran, pakaian dan perhiasan. Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak nagari di Minangkabau. Namun saat ini seni ukir hanya berkembang di nagari - nagari tertentu, seperti Pandai Sikek. Kain merupakan media ukiran yang sering digunakan oleh masyarakat Minang. Selain itu ukiran juga banyak digunakan sebagai hiasan Rumah Gadang. Ukiran Rumah Gadang biasanya berbentuk garis melingkar atau persegi, dengan motif seperti tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajajar, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Disamping itu motif lain yang dijumpai dalam ukiran Rumah Gadang adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Jenis - jenis ukiran Rumah Gadang antara lain kaluak paku, pucuak tabuang, saluak aka, jalo, jarek, itiak pulang patang, saik galamai dan sikambang manis.






 


          Warna dominan dari kebudayaan Minangkabau adalah sirah ( merah tua kecoklatan), kuniang ( kuning kunyit ) dan hitam. Dalam bangunan juga terlihat penggunaan warna putih. Ketiga warna utama itu memiliki arti kaum ( merah ), adat ( hitam ) dan cerdik ( kuning ).

          Tari - tarian merupakan salah satu corak budaya Minangkabau yang sering digunakan dalam pesta adat ataupun perayaan pernikahan. Tarian dimainkan oleh kaum perempuan dan laki - laki. Ciri khas tari Minangkabau adalah cepat, keras, menghentak dan dinamis. Terdapat pula gerakan silat didalamnya, yang disebut randai. Salah satu tarian yang cukup dikenal adalah tari piring, tari payung, tari pasambahan dan tari indang.


          Pencak silat adalah seni bela diri yang menjadi salah satu warisan turun temurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat Minangkabau. Budaya Minangkabau juga melahirkan banyak jenis alat musik dan lagu. Diantara alat musik khas Minangkabau adalah saluang, talempong, rabab serta bansi. Keempat alat musik tersebut biasanya dimainkan dala pesta adat dan perkawinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar